Panorama Pagi "Kulong Biru"
Foto by. yusmansalim
The Beginning of The
Story
Karya: Yusman Salim
( Dipublikasian di Harian Pos Belitung, Edisi 5 April 2015 )
Lantai
putih segi empat berukuran 40 x 40 cm tergelar di sepanjang teras bagunan.
Pantulan sinar mentari siang melukis bayangan samar di lantai berubin putih
itu.. Bayangan tubuhku berjalan cepat .
Tangan kiriku membawa bungkusan plastik
berisi botol-botol infuse yang baru saja kubeli di apotik terdekat.
Tangan kanan membawa obat suntik yang kubeli dari apotik yang berbeda.
“ Semuanya tujuh ratus dua puluh enam ribu” ujar kasir
apotik.
Aku terhenyak saat ia
menyebutkan nominal itu. Mahal benar. Penghasilan ayah selama dua minggu tak
sampai sejumlah itu. Kurogoh kantong yang berisi uang pemberian ayah.
Kuserahkan ke arah kasir.
“ Ada obat yang tak
tersedia di sini. Jadi harus dibeli di apotik lain.” Tambahnya.
Berapa lagi yang harus
kubayar. Kuhitung lagi sisa uang di kantong. Tinggal seratus empat belas ribu.
Cukupkah sisa uang ini untuk menebus obat nanti? Aku terus melangkah menuju apotik
yang tak jauh dari apotik sebelumnya.
“Seratus dua belas
ribu,” Ujar kasir apotik.
Kusodorkan semua
uangku. Sekarang tinggal dua ribu rupiah.
Mataku langsung tertuju pada tubuh yang terbaring lemah
di atas kasur bersprei putih. Kasur tipis yang lebih bagus dari semua kasur
milik kami. Wajah pucat tak bersinar. Mata berurat merah disisi kiri dan kanan.
Kelopak agak hitam. Sesekali menutup agak lama. Kemudian ia pun manatap lemah
ke arahku. Mata itu diselimuti bening air yang perlahan mengalir jatuh di sudut
kiri. Air yang berisi kegelisahan. Air yang membersitkan suatu ketidakmampuan.
Air yang mengandung ketidaktegaan. Air yang bercampur dengan rasa tidak ingin
berada dalam kondisi seperti ini. Aku paham arti air mata itu. Aku paham maksud
tatapan itu. Aku mengerti betul pemilik mata ini.
“Sudah ada obatnya?”
ujar wanita muda yang berdiri tepat di tengah pintu kamar.
“Ada.” Jawabku refleks
karena terkejut sambil mengusap ujung
mata dengan kedua jariku.
Kuberikan dua kantong
plastik hasil gerah ayahku lebih dari dua minggu ini. Perawat muda ini langsung
memasang dan mengganti tabung infuse yang menggantung tepat di sisi kepala serta
menyuntikkan sebotol obat ke selang
infuse tersebut.
Aku duduk mendekati bagian atas pembaringan. Kulihat ia
hanya menatap kosong ke depan. Kelopak matanya hanya terbuka setengah. Raut
wajahya terlihat lelah. Lelah akan lintasan hidup yang harus dilalui. Lelah
memandang harapan hidup yang ia idam-idamkan. Harapan itu ternyata harus
berakhir di atas pembaringan putih ini.
Kugenggam tangan kanannya. Tangan yang sejak lama
menjagaku. Tangan yang sejak lama melukis di kanvas sanubariku. Kanvas yang banyak
berisi pesan yang harus kujalankan. Kanvas yang membentuk motif bintang yang harus kuraih. Kanvas motif bintang
yang tak akan pudar oleh terik mentari. Lama kutatap wajahnya. Kuseka kening
dan rambutnya. Kening agak lebar dan rambut yang mulai memutih. Beberapa helai
alisnya pun demikian.
Sudah tiga hari ini ibuku terbaring di ruang ini. Ruang
putih berukuran 4 x 6 meter. Ruang yang sepanjang umurku selalu ibu hindari. Ia
kadang berkisah tentang ruang-ruang yang mesti tidak dkunjungi. Ruang-ruang
yang menjadi pantangan keluarga kami. Mengapa demikian? Nanti kan kuungkap
kisah itu. Di sebelahnya, tak kurang dari 2 meter ada wanita muda yang
tergeletak tanpa daya. Sekujur tubuhnya tampak lebam. Anehnya selama tiga hari
ini tak kujumpai satupun keluarga yang menjenguknya. Tapi mungkin ada
keluarganya saat aku tak menunggui ibuku.
Malam itu seperti biasanya aku menemani ibu. Sampai malam
keempat ini tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hanya tatapan mata kosong
dan terkadang bulir bening air yang menggelinding dari sudut mata dan berakhir
di atas sprei putih. Terkadang kucoba berkomunikasi. Ia hanya diam tak berekspresi.
Waktu telah menunjukkan pukul 21. 15 WIB. Besok hari
Senin. Besok adalah hari bersejarah buatku. Buat pejuang muda yang ingin meraih
bintang. Bintang terang dengan sinarnya yang kan membuat ibu, ayah, serta
adikku akan tenang. Besok aku akan menempuh ujian nasional. Saat yang telah
lama aku nantikan. Saat pembuktian kualitas diri. Hanya saat ini ada yang beda
dari situasi sebelumnya. Sebelumnya aku berada dalam situasi normal. Belajar
tekun walau tak pernah lama. Tapi waktunya sangat ketat dan kontinnyu. Kata
guru SMAku, aku orang yang punya kenginan keras yang sulit terpatahkan. Cara
belajarku biasa saja, layaknya siswa kebanyakan. Tapi aku orang yang punya
tipikal tak mudah menyerah. Hasil tes IQ yang pernah diadakan di sekolah, Katanya
IQku berada pada posisi 130. Atau dengan kata lain menurut teori tingkat IQku pada tingkat sangat cerdas. Dan menurut
referensi para ahli di buku-buku aku berada pada tataran cakap dalam membaca.
Kemudian aku juga mempunyai pengetahuan yang sangat baik tentang bilangan.
Perbendahaaraan kata yang luas. Aku juga cepat memahami pengertian yang
abstrak. Aku pun seorang lelaki tangkas
dengan kesehatan tubuh yang prima seperti sekarang ini. Yang jelas aku penuh
semangat.
Lalu kuperhatikan sekujur tubuh ibu. Ia terlihat pasrah.
Kepala kurebahkan di kasur berseprei putih dengan posisi tetap duduk. Sesekali
kuusap lengan ibu. Damai. Tentram …. menenggelamkanku dalam lamunan malam yang
penuh harap. Harapan akan hadirnya mentari pagi. Mentari yang membawa
perubahan. Pagi yang beda dengan pagi sebelumnya. Berbedalah … itu pintaku.
Bel tanda masuk berteriak lantang. Kami duduk berjajar
rapi. Beberapa kursi masih kosong. Hari ini hari spesial buat para pejuang
lantang menatap masa .
“Matamu merah … belajar
sampai larut ya …, “ ujar Jessica sambil lewat.
Aku hanya tersenyum sambil menengadah menatap gadis
proposional anggun semampai rebutan semua faksi di sekolah ini. Ada banyak
faksi di sekolahku. Setiap faksi bisa jadi ada ketua umum lengkap dengan
susunan pengurusnya. Mungkin juga mereka punya AD/ARTnya. Faksi di sekolahku
bak kelompok di dalam suatu partai politik yang anggotanya para politisi sekolah yang mencoba menonjolkan diri dengan cara-cara
yang berbeda. Tergantung tujuannya. Tujuan utama yang paling banyak tentu
memikat para selebritis sekolah. Nah, Jesisica salah satunya. Ia berada pada
tiga seleb urutan teratas sepanjang tiga tahun ini. Ditambah lagi ia termasuk
siswi terfasionable di sekolah ini.
Bayangkan … wajah … sudah tak diragukan. Kata penyayi favoritku Bang Iwan
Fals….. rembulan saja mungkin akan padam bila ia lewat. Kalau aku beri nilai,
ia dapat poin sempurna. Akh … Jessica gadis idaman semua faksi. Menatapnya saja
aku tak kuat. Tak kuat melihat diri sendiri sebenarnya, apalagi bermimpi. Mimpi
pun tak mampu menghadirkan bintang tamu seperti dirinya.
“ Ada apa …?” tanya
Jessica .
Kugelengkan kepala cepat-cepat. Rupanya beberapa saat tanpa
sadar aku menatapnya. Aku sejenak
menikmati lukisan alam nan permai di dirinya yang tepat duduk disamping
kiriku. Waw .. aku ketahuan menatapnya walau sebentar.
Dua orang pengawas beriringan masuk ke ruang ujian.
Seorang perempuan paruh baya dan seorang lelaki muda. Usia pengawas lelaki
sekitar 28 tahun berperawakan sedang. Wajahnya menurutku pada posisi eccelent. Kalau diberi level berada pada
posisi imbang dengan Andaru, teman sekelasku. Kata kebanyakan teman di kelas
Andaru yang paling menarik diantara para pejantan di kelas. Maklum, ia jenis varietas
unggul yang layak dikembangkan dan dibudidayakan. Hanya, pengawas lelaki itu
punya kumis. Andaru belum punya. Tapi, aku langsung tak suka dengan lelaki
pengawas itu. Kumisnya itu …. mencurigakan.
“ Baiklah…, sekarang dengarkan tata tertib yang berlaku
bagi peserta ujian.” Ujar pengawas perempuan sambil memegang kertas putih di
tangannya.
Ia pun membaca sederetan aturan dengan lantang. Aturan
dari mulai masuk hingga pulang. Semuanya biar tertib katanya. Enjelia teman
sebangku yang duduk tepat di sampingku menoleh lama ke arahku.
“ Ada apa …” ujarku setengah berbisik.
Tak ada jawaban. Ia meringis seperti menahan sesuatu.
Kemudian telunjuknya menngarah ke perut tipis yang ia miliki.
“ Buk …maaf.” kataku sambil mengangkat tangan.
“Jangan disela. Saya selesaikan dulu!”
“Buk …! “ seruku sekali lagi.
Kemudian ia melihat ke
arahku sambil membetulkan letak kacamatanya. Teman pengawas lelaki mendekat ke
arahku. Peserta ujian lain pun menoleh.
“Enjel … sakit.” kataku cepat sambil berusaha memegangi
tubuh Enjellia yang terhuyung lemas
menuju lantai. Sontak orang seisi ruang berdiri. Beberapa teman secepat kilat
ingin menyambar tubuh gadis itu. Maklum gadis ini salah satu batu akik berharga
yang jadi rebutan para perjaka tangguh di kelas kami . Bagian bahu atas sudah
kutahan. Dari bagian belakang seseorang merapat ke tubuhku, Ia kemudian memaksa
menggantikan posisiku yang tengah memegang gadis itu dengan cara menggeser
tanganku.
“ Biar aku saja.” Katanya.
Ternyata Rahmad orangnya. Ia manusia yang unik. Aku suka dengan cara bergaulnya di kelas. Ia
termasuk petualang yang gigih
menyebarkan aroma aura cinta dengan Enjelia. Setiap hari kalau ada kesempatan
ia gunakan untuk sekedar mendekati gadis ini. Untuk tiap kali akan menemui
gadis ini ia selalu berkonsultasi denganku tentang penampilannya. Padahal
penampilannya tiap hari selama 3 tahun ini tidak ada yang berubah. Perubahannua
hanya pada rambutnya yang semakin ikal. Sulit disisir. Jadi kadang ia beri
minyak rambut. Dan sepotong sisir cokelat selalu ia sisipkan di kantong
belakang celannya. Katanya buat jaga-jaga kalau rambutnya tidak proposional
yang menurutku tidak ada pengaruhnya.
Dengan semangat baris-berbaris ia membopong tubuh Enjelia
dibantu Jessica dan Kwansia ke ruang guru. Enjelia akhirnya dibawa ke rumah
sakit. Suasana menjadi gaduh. Pengawas perempuan berusaha mengatasi situasi
tersebut. Ia menenangkan dan memerintahkan semua peserta ujian untuk tenang dan
kembali duduk. Ujian pun dimulai.
Akhirnya hari-hari ujian nasional kulalui dengan baik.
Besok adalah hari terakhir ujian nasional. Menjelang pembukaan malam suasana hening. Bintang mulai akan berkerumun
ditemani bayang bulan dengan dilatari langit menjelang malam indah di atas kanvas Mahabesar. Kubuka jendela
kamar lebar-lebar. Kutatap dalam-dalam wajah ibu yang tak jua ada perubahan. Tubuhnya
makin kurus. Badannya kumiringkan, lalu keseka dengan handuk basah. Kutaburi
bedak sampai rata. Kaki, tangan, dan wajah semuanya keseka.
Ibu … sadarlah. Bisikku. Aku membutuhkanmu. Aku tak dapat
berjalan tanpa bergandengan tangan denganmu. Aku rindu akan langkah kakimu
menyambut kepulanganku . Aku rindu dengan suaramu saat berbicara denganku. Aku
haus akan tatapan matamu yang penuh kasih. Ibu… bangunlah iringi jalanku dengan
untaian kata bijakmu.
“ Ibu … ibu …!” bisikkku lagi. Kugoncang-goncang
tubuhnya. Mataku tak henti berurai air mata. Kupeluk tubuhnya dengan erat.
Tiba-tiba ia membuka matanya perlahan. Sesaat ia melihat kea rah jendela.
Matanya ia arahkan ke langit di luar jendela. Agak lama ia menatap langit.
Kuperhatikan ekspresi wajahnya yang penuh harap. Kemudian tangannya meraih
kepalaku, lalu membelai rambutku. Wajahnya seketika cerah. Aku terkejut. Lama
kutatap wajahnya. Lalu kucium lembut pipi kirinya. Ia memelukku erat.
“ Ibu sayang kalian, Nak.” bisiknya di telingaku.
Kalimat itu tak menghentikan tangisku. Kemudian tubuhku seperti
diguncang-guncang.
“ Hei…bangun…bangun…!”
Aku tersentak. Beberapa orang perawat berada di
sekitarku. Cepat-cepat kubersihkan air mata dengan lengan baju. Perawat lelaki
sigap memeriksa ibu. Perawat yang lain memeriksa ibu dengan memegangi tubuh ibu, memeriksa monitor detak jantung,
dan menmperhatikan dengan seksama alat bantuan pernapasan. Aku mundur ke arah bagian kepala pembaringan
ibu. Ternyata aku tertidur dan telah bermimpi menyaksikan ibuku berbicara
denganku. Salah seorang perawat memeriksa ibu dengan stetoskop untuk mendengar
suara jantung dan pernapasan ibu. Berulang-ulang ia melakukan itu.
Aku mematung pucat tak bergerak. Semua sendiku mati
seolah kaku. Darahku mendadak hangat. Semua lapisan ototku mengejang. Tanganku memegang erat besi pembaringan. Makin
lama makin kuat. Tiga orang perawat itu saling pandang. Perawat lelaki yang
agak kurus dari yang lainnya merapikan selimut putih yang ibu gunakan. Tangan
kanannya mengusap perlahan dari ubun-ubun sampai ke dagu wajah ibuku. Kain
selimut putih ditarik secara perlahan ke atas. Senti demi senti wajah ibuku
tenggelam dalam selimut putih menutup cerita hidup pada halaman terakhir sebuah
kisah perjalanan. Suasana menjadi gelap. Lampu proyektor pertunjukkan mendadak
mati. Permukaan bumi berputar-putar menggoyangkan segala isinya. Suara teriakan, tangisan,
lantunan kalimat, nyanyian, tubrukan, ledakan, dan dentuman jadi satu. Gendang
telingaku tak mampu memuat beban suara-suara itu dan akhirnya ….
“Teess…!” semua putus. Hening. Hilang …menjadi satu dan
terkumpul dalam satu titik jauh tak terlihat. Hilang ….
Dengan tubuh lemah kusam semerawut kulangkahkan kaki memasuki gerbang sekolah.
Dari kejauhan Rahmad dan Andaru berlari
kearahku. Mereka dan teman-teman lain semalam sudah membantu menemani menopang
dukaku yang teramat berat sampai jenazah
ibuku terkubur di pemakaman kampung dekat tempat tinggalku. Sambil kami
berjalan tangan kanan Andaru memegang
bahuku. Mereka tak berujar sepatah kata pun. Memang tak ada yang perlu
dikatakan. Sepanjang lobi semua ruang ujian tatapan mata mereka mengarah padaku. Bentuk rasa iba. Tumpahan solidaritas. Aku setengah menunduk.
Ubin sekolah yang tersusun lurus kuikuti. Sampailah di depan ruang ujian. Berapa
teman lelaki menyalamiku dengan erat. Mereka mentranfer kekuatan melalui
genggaman tangan dan pelukan. Jessica
manatapku. Aku tertunduk.
Tak usah kuatir Jessica, teman baikku. Aku pemuda yang kuat. Kan kulalui masa ini
dengan tatapan mata seperti matamu. Tatapan mata yang penuh daya untuk
menggenggam bintang . Masa ini kan kujadikan sebagai awal cerita hidupku yang
sebenarnya. Awal kisah ini bermula dari ruang ujian di hari terakhir ini dimana
aku berada dalam dua situasi yang anginnya bertiup di dua arah dan aku kini berada
di tengahnya.
************************
kalo menurut aku pak lanjtan e,si aku lulus UN dngn nilai memuaskan,si aku nak ngelanjutin kuliah d luar kota,tapi ad msalh,pertme bpak si aku dk punya uang untk nyekolahin si aku krne uang ny lh abis untuk biaya pngbtan ibuny,ap ag kerjaan bpakny dk seberpe,kedua bpkny karne lh mulai tua sering sakit2an,jdi dy harus ngmbantuin bpkny kerja untk menuhin kehidupan shari2,ketiga kwn dy jessica ne peduli dngn keadaan dy,dy nak ngmbantuk si aku,tapi ad satu cwo yang iri dengn si aku krna jessica selalu ngmbantuin si aku,jdi nanti cwo ini ngelakuin ap aj untk ngmbuat si aku lah susah jdi makin susah. nah nanti inti lanjutanny dy ne harus milih nak lanjut skolh atau nyari kerja aj,dari semue maslh itu,itu lh yg ngmbuat dy makin kuat,mkin tegar untk jalanin hidup dy,dy harus terbiasa tanpa ibuny dan ayah ny yg sering sakit2an... sekian pak:D
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete(Repaired)
ReplyDeleteMenurut aku sh gini Pak, tapi maaf ini yg ku sedia’in ini ceritanya bukan pointny,
Mungkin ini bisa jadi terusan berikut-berikutnya lgi Pak, tapi maaf, point”ny bisa Bapak ambil sendiri di bawah ini.
Ada suatu ketika, aku tertidur berbantal sebelah lengan diatas tikar yg terdapat di sudut kamar rumahku. Lalu ku bermimpi berada dalam suatu lorong gelap gulita. Kemudian di sela – sela lorong itu perlahan tampak jelas. Hanya ada satu pelita di ujung sana. Setitik cahaya terang benderang. Ku berlari seakan menelusuri tempat yang pernah ku lalui.
Sesampai di sana, ku terkejut melihat ayah dan ibu yang berdiri berdampingan, dengan mengenakan busana putih menyilaukan dan tampak wajah mereka berseri – seri menunggu kehadiranku.
Sontak, aku berlari menuju pangkuan mereka, ku peluk erat tubuhnya, seakan ku takut kehilangan. Lalu, Ibuku berujar “Nak, kami akan selalu ada di sampingmu, apapun keputusanmu, kami selalu sayang padamu.”
Setelah beberapa saat suara itu perlahan mulai pudar. Aku terbangun dari mimpi itu. Lantas ku berfikir “Oh Tuhan, jika Engkau mengizinkan mimpi itu kenyataan, niscaya aku akan bahagia.”
Aku terdiam sesaat menghela udara dan menghembuskannya dengan perlahan. Aku sadar Ibuku tak akan kembali. Tetapi ia selalu ada di dalam benakku. Sekarang aku agak tegar, rindu yang menghantui diriku sedikit terobati kendatipun hanya dalam mimpi.
Sliip ... mantap ... thank's
DeleteSliip ... mantap ... thank's
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletemau nanya pak?, kenaa di awal cerita gk ada penggenalan tokoh2nya?
ReplyDeleteUrutan bagaan cerpen tidak harus diawali dengan pengenalan, Walau pengenalan merupakan bagian yang harus ada dalam cerpen. pengenalan bisa jadi ada dibagian selain di awal cerita. Tujuannya hanya untuk menarik perhatian pembaca. Urutan cerpen mengenal beberapa pola penyajian. Kalau diawali dengan pengenalan dan diakhiri dengan solusi, itu namanya alur maju. Terima kasih Michael.
Delete